Potret Suram Penelitian di Indonesia



Pemerintah sepertinya memang kurang peduli terhadap nasib penelitian di Indonesia. Bayangkan saja , penelitian yang sudah dimulai sejak tahun 1969 silam tidak membuat bangsa ini dikenal sebagai salah satu bangsa yang memiliki dan menghasilkan banyak hasil karya ilmiah (paper) justru geliat para peneliti di Indonesia kian meredup. Data yang diperoleh dari Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Muhammad Munir menunjukkan Indonesia hanya menghasilkan ±522 karya ilmiah sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan Malaysia yang dahulu menimba ilmu di Indonesia, justru mampu menghasilkan tiga kali lipat dari Indonesia yaitu ±1.438 buah paper. Disamping itu pencapaian negara lain seperti Thailand yang sudah menghasilkan sampai dengan 2.397 paper, Singapura sebanyak 5.781 paper, belum lagi Jepang yang sudah mampu menghasilkan 83.484 buah paper, China 57.740 dan Korsel serta India masing – masing menghasilkan 24.477 dan 23.336 paper. Mengapa hal tersebut bias terjadi? Padahal Indonesia memiliki banyak SDM yang berkualitas. Buktinya beberapa kali, pelajar dan mahasiswa/I Indonesia bahkan peneliti / ilmuan bangsa ini mampu memborong medali emas dan perak serta perunggu di olimpiade internasional dan bahkan karya nya mampu memikat para juri internasional. Bahkan kabar yang baru – baru ini terdengar adalah pencapaian lima peneliti wanita asal Indonesia yang berhasil memperoleh penghargaan dari L’oreal company. Bukti lainnya adalah tidak sedikitnya ilmuan dan peneliti muda Indonesia yang diincar oleh sejumlah Negara. Mereka ditawarkan gaji yang besar, fasilitas dan tempat riset yang memadai asalkan besedia bekerja di sana. Hal ini sudah cukup menjelaskan kepada kita bahwa Indonesia memiliki banyak putra dan putri bangsa yang kreatif dan cerdas serta mampu bersaing dengan peneliti Negara lain.

Anggaran Minim
Beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kiprah peneliti Indonesia terasa kian meredup ialah karena keterbatasan fasilitas laboratorium yang tidak memadai, rendahnya gaji peneliti, sulit dan lamanya memperoleh hak paten di Indonesia.
Anggaran pemerintah untuk penelitian tahun 1999 s.d. 2007 hanya sebesar 0,3% dari APBN. Kecilnya anggaran ini menyebabkan dana penelitian harus dibagi-bagi untuk 62.995 orang yang bergerak di bidang penelitian, yakni peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Anggaran yang tidak sebanding menyebabkan penelitian tidak bisa berlanjut. Penelitian harus ditunda beberapa tahun menunggu kucuran dana selanjutnya
Di samping itu, gaji yang ditawarkan juga terbilang rendah. Gaji pokok seorang profesor riset golongan IV/E di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, saat ini Rp 3,6 juta per bulan. Gaji ini ditambah tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan. ”Jadi, total gaji yang saya terima Rp 5,2 juta per bulan,” kata Prof Dr Ir Jan Sopaheluwakan, MSc, pakar ilmu kebumian yang sudah bekerja sekitar 30 tahun di LIPI. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp 600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri. Sedangkan negara lain , sebut saja Malaysia mampu menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS (sekitar Rp 45 juta) per bulan,” kata Lukijanto, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di Jakarta, Sabtu (22/10).

Rendahnya anggaran juga menyebabkan ilmuan serta peneliti kurang leluasa untuk mengekspresikan kreatifitas mereka. Mereka merasa dibatasi untuk mengadakan penelitian karena terbatasnya fasilitas. Selain gaji, hal lain yang sangat didambakan seorang peneliti adalah fasilitas riset yang memadai. ”Fasilitas ini yang sangat kurang di Indonesia,” kata Endang Sukara. Tak heran jika kemudian, pada tahun 1990-1992, ada 177 peneliti LIPI yang pindah ke swasta, instansi lain, dan keluar negeri.

Selain fasilitas penelitian yang kurang dan gaji yang rendah, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang dia dapatkan.
Perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas dan berprestasi, termasuk ilmuwan dan peneliti, hingga saat ini masih minim. Sejumlah lomba penelitian digelar, tetapi tak jelas kelanjutannya. Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan sejak 1969, atau 42 tahun lalu, misalnya, hingga saat ini para juaranya tak terlacak keberadaannya. Begitu pula para juara Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang memasuki tahun ke-10 dan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI), yang terakhir dilaksanakan 2009, tidak dipantau perkembangan prestasi para penelitinya. Belum lagi para juara olimpiade internasional. Sekalipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan agar para juara olimpiade internasional difasilitasi untuk dapat kuliah hingga jenjang doctor, namun hingga detik ini untuk memeperoleh beasiswa tersebut masih saja sulit , lama dan berbelit – belit sehingga banyak peneliti dan ilmuan di Indonesia yang menerima tawaran beasiswa ke luar negeri karena hal tersebut. Dan sebagai imbalannya, mereka biasanya harus mengabdi kepada Negara tersebut sampai dengan tiga tahun bekerja di sana. Akhirnya, tidak heran memang jika bangsa kita kehilangan banyak pemuda/i terbaiknya. Bahkan hal yang lebih miris lagi , banyak orang tua saat ini tidak lagi mendukung anak – anak mereka untuk menjadi ilmuan atau peneliti. Dan kebanyakan anak saat ini lebih bercita – cita menjadi dokter, pegawai bank, PNS , Polisi dan profesi lain. Tidak ada yang salah denga profesi apapun yang dipilih , namun yang dampak dari makin sedikitnya generasi penerus bangsa yang bercita – cita menjadi ilmuan/peneliti adalah kepada kemajuan suatu bangsa karena profesi meneliti lebih penting menjadi salah satu penentu kemajuan suatu bangsa.

Comments

Popular Posts