Kartini Masa Kini




Sabtu siang saya menonton siaran yang sebelumnya jarang saya tonton yaitu program “”DAAI Inspirasi”. Entah mengapa jemari tangan ku menekan tombol chanel stasiun TV tersebut. Saya menonton sekilas program tesebut dan ternyata program yang disajikan siang itu adalah program favorite saya. Program yang seringkali menginspirasi saya dalam segala hal, khususnya pelajaran hidup “Menjadi Pribadi Yang Tangguh Dalam Kondisi Tertekan Dan Sulit”.
Nurhayati...Adalah nama seorang ibu paruh baya yang saya nobatkan dalam tulisan saya sebagai salah satu “Kartini Masa Kini”. Tentu nya saya punya alasan mengapa menobatkannya sebagai seorang “Kartini”.
Beliau adalah seorang pemetik teh di desanya yang bernama Kampung Citalahat. Setiap hari beliau bekerja dari pukul enam sampai sepuluh pagi. Ibu tersebut mengakui pekerjaannya ini tak jarang membuat nya tergelincir pada saat musim penghujan karena medan yang dilaluinya memang tidaklah rata tapi cukup terjal, licin dan tidak beraturan. “Saya pernah terjatuh dan akhirnya kantungan daun teh yang saya pikul pun ikut jatuh ke tanah, padahal sudah banyak daun-daun teh yang sudah saya petik. Kadang saya dibantu, kadang juga tidak”, ujarnya. Saat Bu Nurhayati menceritakan pengalamannya itu, saya pun merasa terharu. Bu Nurhayati begitu semangat dan tidak mudah menyerah. Bayangkan saja sudah kurang lebih 10 tahun dia menjadi pemetik teh di desanya. Suaminya memang bekerja, tapi hanya sebagai buruh dengan upah yang sangat rendah. Sehingga menurut ibu Nurhayati tidaklan cukup jika Beliau tidak ikut bekerja mencari sedikit tambahan penghasilan untuk keberlangsungan hidup keluarganya.
Setiap harinya Bu Nurhayati bekerja, Beliau mampu memetik 15 kilogram daun teh yang siap untuk diproduksi. Upah yang diperolehnya untuk setiap 15 kilogram daun teh hanyalah Rp.7500,-. Upah yang sangat mencekik untuk buruh yang sudah bekerja sangat keras dan tanpa henti selama berjam-jam. Bahkan jika daun-daun teh yang dipetiknya itu tidak bagus atau terlalu tua, maka upahnya pun akan dikurangi. Bayangkan saja berapa lagi yang harus diperoleh Ibu Nurhayati.
Ternyata pekerjaan memetik teh yang mungkin kita pikir selama ini sangat sepele ternyata membutuhkan keahlian khusus. Dan keahlian itu didapat setelah bekerja beberapa lama. Saya pikir yang namanya keahlian pastilah dihargai dengan harga yang pantas. Apalagi bagi produk sekelas teh yang dikonsumsi masyarakat banyak. Namun hal itu tidak berlaku bagi para pemetik teh.
Ternyata Bu Nurhayati rela banting tulang bahkan sesekali dia terjatuh karena memetik daun-daun teh terbaik, itu semua dilakukannya untuk membeli 1,5 kilogram beras sekelas “RASKIN” yang dikenal sebagai Beras Miskin. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beras yang disubsidi pemerintah untuk rakyat miskin justru adalah yang berkualitas sangat sangat rendah. Padahal Pemerintah sudah mengalokasikan Anggaran Negara yang besar untuk membantu kebutuhan pangan rakyat kecil yang semakin tercekik dari waktu ke waktu. Namun anggaran yang besar itu justru dimanipulasi oleh pihak-pihak yang diberi amanat sosial untuk mendistribusikannya dengan jujur, adil dan tentunya benar. Ya... Itulah realisasi dari janji-janji manis para wakil rakyat kita. Yang diawal masa kampanye berjanji akan bekerja untuk wong cilik. Tapi janji tinggal janji. Mereka pun hanya lempar batu sembunyi tangan dan berkata bahwa itu kan hanya janji di masa kampanye. Saling melempar tanggung jawab sudah bukan hal yang luar biasa lagi, bahkan mereka sudah tebal muka melakukannya. Uang dan kekuasaan sudah menulikan dan membutakan mata hati mereka.Sungguh tragis.
Berbeda dengan mereka, para wakil rakyat yang “terhormat”, seorang ibu yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan dan sangat terbatas dalam segala segi kubutuhan hidupnya, justru memiliki kepedulian yang sangat besar bagi dunia pendidikan di desanya. Sekalipun dia tidak bisa mengajar seperti bidang studi matematika, IPA maupun IPS, dia tidak menyerah dan berhenti peduli. Dia sosok kartini di desanya, dan di bangsa ini juga karena Beliau telah berjuang dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa yang merupakan salah satu dari tujuan Bangsa Indonesia. Dia memberi dari keterbatasannya. Dia mengajar sebagai guru agama Islam di Madrasah Al-Ikhlas di desanya. Madrasah ini dinamai seperti itu karena warga desa setempatlah yang dengan ikhlas tanpa mencari keuntungan secara bergotong-royong membangun madrasah kecil ini. Madrasah yang dibangun dengan hati. Madrasah itu sangat sederhana dan kecil, hanya ada satu ruangan dengan sebuah papan tulis dan meja guru dan murid-murid nya. Setiap tiga bulan sekali Bu Nurhayati harus membeli kapur. Harga sekotak kapur memang tidak terlalu mahal yaitu seharga Rp.5000,- namun biaya transportasi ke kota mencapai Rp.60.000,-. Dua belas kali lipat dari harga sekotak kapur yang ingin dibeli. Saat menceritakan kondisi tersebut, Bu Nurhayati sedang menggumpulkan kapur sambil menghitung jumlah kapur yang masih ada. Jika dilihat dari jumlahnya hanya bisa untuk beberapa hari lagi. “Jika tidak ada lagi persediaan kapur tulis, maka itulah satu-satunya alasan murid-muridnya tidak masuk sekolah”, tuturnya.
Beliau juga menceritakan kondisi peralatan di madrasah tersebut yang harus segera diperbaiki, Bu Nurhayati bukannya tidak bisa memperbaikinya sendiri, hanya saja uang untuk membeli paku, tidak ada. Warga desa pun memang benar-benar tidak memiliki uang yang lebih untuk membeli paku. Karena yang seperti diakuinya bahwa biaya transportasi ke kota sangat mahal.
Bagi Bu Nurhayati pendidikan adalah modal bagi anak-anak di desanya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Bahkan dia punya visi anak-anak di desanya bisa mengecap pendidikan seminimal SD dan semaksimal perguruan tinggi. “Hidup harus ada ilmu, kalau ga ada ilmu akan sulit cari kerja yang layak.”, tuturnya. Sekalipun para guru di madrasah tersebut jarang menerima gaji mereka tetap mengajar dengan penuh pengabdian. Gaji diperoleh dari sumbangan warga desa sebanyak Rp.1000,- per rumah tangga. Dan karena jumlah guru yang mengajar berjumlah tiga orang maka setiap guru mendapat Rp.50.000,- per bulan. Namun bukan uang mereka prioritaskan, buktinya jarang mereka mendapat gaji setiap bulannya. Prioritas mereka adalah agar anak-anak di desa mereka kelak tidak bernasib sama seperti mereka, para orang tuanya.
Ketika diwawancarai, Ibu Nurhayati mengatakan bahwa Beliau tidak menyesali nasibnya sebagai buruh pemetik teh. Dia bahkan tetap bersyukur, berserah dan percaya kepada Tuhan yang dipercaya oleh Bu Nurhayati tidak akan tinggal diam melihat perjuangan mereka.
“Teman... seringkali kisah yang menginspirasi dalam hidup saya, bukan cerita sukses orang-orang yang berhasil, kaya raya dan punya jabatan tinggi. Tapi cerita hidup pribadi biasa yang sangat sederhana dan didalam kesederhanaan dan keterbatasannya dia memiliki roh yang luar biasa. Semangat dan pengabdian yang luar biasa untuk masa depan desanya. Dia seorang wanita yang tangguh dan berkualitas yang bisa kita lihat dari pilihan nya untuk memberi dirinya bagi keluarga dan orang lain. Saya memang tidak pernah mengenalnya secara langsung, namun selain Mother Theresa, Bu Nurhayati adalah salah satu Kartini Indonesia yang mengispirasiku untuk tidak hanya hidup bagi kebahagiaan diri sendiri tapi untuk kebahagiaan hidup orang lain yang membutuhkan.”
“HIDUP HARUSLAH BENAR-BENAR HIDUP.” Hidup di dunia ini hanya sementara, bahkan hanya seperti uap saja yang sebentar kelihatan lalu lenyap. Jika kita merasa bahwa hidup kita biasa-biasa saja, membosankan dan kita sering mengasihani diri kita sendiri, itu sudah mengindikasikan bahwa kita hanya hidup bagi diri kita sendiri. Teman, kebahagiaan hidup di dunia yang fana ini, sebenarnya bukan terletak di pencapaian ambisi pribadi, harta dan tahta. Banyak orang yang sudah kaya rasa masih sering stres dan tidak merasa bahagia dan puas karena mereka tidak mau memberi diri mereka untuk dipakai menjadi saluran berkat bagi sesama.

“ADA SESUATU YAITU KEPUASAN HIDUP DI DALAM MEMBERI, APALAGI JIKA MEMBERI DARI KETERBATASAN KITA” (Dee)

Selamat Memberi, Selamat merasa puas!!!
Salam kasih
*Dee*

Comments

Popular Posts